Minggu, 25 Mei 2025

Urutan Operasi dan Sifat Asosiatif

Pernahkah kalian menemukan kalimat matematika yang berisi operasi dengan prioritas/urutan pengerjaan yang sama? Sebagai contoh, 7 - 3 - 2 akan menghasilkan 2 (bukan 6) karena yang terletak di sebelah kiri dikerjakan terlebih dahulu walaupun kedua pengurangan memiliki prioritas yang sama. Kira-kira mengapa, ya?

Apa itu prioritas? Urutan pengerjaan itu apa?

Dalam matematika, urutan pengerjaan adalah kumpulan aturan/konvensi urutan operasi yang dilakukan saat menghitung sebuah kalimat matematika. Prioritas atau urutan pengerjaan suatu operasi juga disebut dengan preseden (precedence). Prioritas yang lebih tinggi berarti akan dikerjakan terlebih dahulu. Begitu juga sebaliknya.

Keberadaan urutan pengerjaan ini digunakan untuk mengurangi ambiguitas, tetapi tetap hemat notasi. Kalau ingin mendahulukan salah satu operasi, kita bisa menggunakan tanda kurung, ( dan ), untuk membungkus operasi yang perlu didahulukan. Sebagai contoh, 7 × (3 - 2) akan menghasilkan 7 (bukan 19). Kalau ada lebih dari satu tingkat kurung, kita bisa menggunakan jenis kurung yang berbeda untuk menghindari kebingungan. Misalnya, [5 × (4 + 2)] - 7.

Urutan pengerjaan konvensional yang diadopsi dalam berbagai bidang, termasuk di luar matematika, adalah sebagai berikut:

  1. tanda kurung,
  2. perpangkatan dan akar,
  3. perkalian dan pembagian, lalu
  4. penjumlahan dan pengurangan.

Kalau kita perhatikan, terdapat beberapa operasi yang menempati prioritas yang sama. Bagaimana menentukan yang didahulukan kalau berturutan? Ini yang disebut dengan sifat asosiatif atau keasosiatifan (associativity).

Apa itu asosiatif?

Dalam matematika, sifat asosiatif adalah sifat suatu operator biner (operasi terhadap dua bilangan) yang tidak mengubah hasil ketika tanda kurungnya diubah. Sebagai contoh, (2 + 3) + 5 sama dengan 2 + (3 + 5) sama dengan 10 sehingga operasi penjumlahan bersifat asosiatif.

Yang perlu diperhatikan adalah asosiatif tidak mengubah urutan penulisan operator. Asosiatif berbeda dengan komutatif. Contoh yang umum memang memiliki kedua sifat tersebut sehingga tak jarang disalahpahami oleh kebanyakan orang.

Sifat komutatif adalah sifat operator biner yang tidak mengubah hasil ketika urutan penulisan kedua bilangan yang dikenai operasinya ditukar. Sebagai contoh, 2 + 3 sama dengan 3 + 2 sama dengan 5 sehingga operasi penjumlahan bersifat komutatif.

Memang ada, ya, operasi yang bersifat komutatif, tetapi tidak bersifat asosiatif?

Operasi yang bersifat komutatif, tetapi tidak bersifat asosiatif, memang ada, tetapi memang jarang muncul. Sebagai contoh, operasi batu-gunting-kertas (atau gajah-manusia-semut) memiliki sifat komutatif, tetapi tidak bersifat asosiatif.

  • batu vs. gunting = batu
  • gunting vs. batu = batu

... tetapi ....

  • (batu vs. gunting) vs. kertas = kertas
  • batu vs. (gunting vs. kertas) = batu

Jadi, operasi batu-gunting-kertas memiliki sifat komutatif, tetapi tidak bersifat asosiatif.[1][2] Ini juga alasan permainan batu-gunting-kertas hanya boleh dimainkan oleh tepat dua orang, tidak boleh kurang ataupun lebih.[3]

Bagaimana dengan operasi non-asosiatif?

Operasi yang tidak memiliki sifat asosiatif memiliki urutan pengerjaan masing-masing. Biasanya, hal ini diatur dengan menentukan suatu operasi sebagai asosiatif kiri atau kanan. Asosiatif kiri adalah mengerjakan dari kiri ke kanan. Asosiatif kanan sebaliknya.

  • Asosiatif kiri: 1 ▫ 2 ▫ 3 ▫ 4 = ((1 ▫ 2) ▫ 3) ▫ 4
  • Asosiatif kanan: 1 ▪ 2 ▪ 3 ▪ 4 = 1 ▪ (2 ▪ (3 ▪ 4))

Contoh asosiatif kiri adalah pengurangan dan pembagian:

  • 1 - 2 - 3 - 4 = ((1 - 2) - 3) - 4
  • 1 ÷ 2 ÷ 3 ÷ 4 = ((1 ÷ 2) ÷ 3) ÷ 4

Contoh asosiatif kanan adalah perpangkatan:

  • 234 = 2(34)

Namun, ada juga yang wajib menggunakan tanda kurung karena tidak ada konvensinya, misalnya perkalian silang vektor (cross product):

  • A̅ × (B̅ × C̅) ≠ (A̅ × B̅) × C̅

Penutup

Dengan mengetahui urutan operasi/preseden dan sifat asosiatif tiap operasi, kita bisa mulai untuk mengubah kalimat matematika dari notasi sisipan ke notasi akhiran untuk kalimat yang lebih kompleks. Selanjutnya, kita coba bahas algoritma shunting yard/depo gerbong, yuk! Semoga bermanfaat!

Catatan akhir

Aku menerapkan konsep dalam tulisanku kali ini untuk menyelesaikan masalah pada program pembuat soal di web TTL. Aku juga menyiarkannya di YouTube, loh!

Senin, 28 April 2025

Notasi Sisipan dan Notasi Akhiran dalam Kalimat Matematika

Pernahkah kalian memperhatikan perbedaan kalkulator dagang dengan kalkulator ilmiah? Bagaimana bisa kalkulator ilmiah menentukan urutan perhitungan? Loh, kalkulator yang di ponsel pintar itu kalkulator ilmiah?

Apa perbedaannya?

Perbedaan keduanya ada pada urutan menghitungnya. Kalkulator dagang memiliki keterbatasan memori dan daya komputasi sehingga perhitungan langsung dilakukan setiap tombol operator berikutnya ditekan (termasuk tanda sama dengan), sedangkan kalkulator ilmiah membaca kalimat matematika (KM) secara keseluruhan, menentukan urutan perhitungan, lalu melakukan perhitungan sesuai urutan seharusnya.

Sebagai contoh, berikut yang muncul ketika menekan tombol 2 + 3 × 7 = pada kalkulator dagang. Perhatikan bahwa perhitungan langsung dijalankan setiap tombol operator ditekan dan nilai itu yang disimpan dalam memorinya yang terbatas.

Tombol yang Ditekan Hasil pada Layar Memori Internal Kalimat Matematika
2202
+222 +
3322 + 3
×55(2 + 3) ×
775(2 + 3) × 7
=3535((2 + 3) × 7)

Bagaimana kalkulator ilmiah menentukan urutan perhitungan?

Sebagai manusia, kita biasanya akan mencari operator yang urutannya didahulukan, misalnya perkalian (×) lebih dahulu daripada penjumlahan (+). Kalimat matematika (KM) yang biasa kita pakai menggunakan notasi sisipan (infix notation), yaitu tanda operator berada di antara dua bilangan/KM yang akan dikenai operasi. Misalnya 2 + 3 berarti operasi penjumlahan antara 2 dan 3 dengan tanda tambah (+) berada di antara keduanya.

Salah satu cara yang lebih mudah bagi komputer adalah dengan menggunakan notasi akhiran (postfix notation atau reverse Polish notation/RPN), yaitu tanda operator berada di akhir dua bilangan/KM yang akan dikenai operasi. Misalnya 2 3 + berarti operasi penjumlahan antara 2 dan 3 dengan tanda tambah (+) berada di akhir/setelah keduanya.

Cara ini lebih mudah untuk diprogram dan dijalankan oleh komputer dengan menggunakan struktur data tumpukan/stack. Kita cukup memasukkan tiap bilangan/KM ke dalam tumpukan. Bila kita bertemu dengan tanda operator, kita ambil dua teratas dari tumpukan lalu melakukan operasi terhadap keduanya. Hasilnya ditaruh di atas tumpukan kembali. Setelah selesai, hasilnya adalah satu bilangan di tumpukan itu.

Sebagai contoh, berikut cara menghitung 2 3 7 × + dengan notasi akhiran. Perhatikan tumpukan setiap kita sampai tanda operator.

Tumpukan Kursor Sisa Kalimat
223 7 × +
3
2
37 × +
7
3
2
7× +
21
2
×+
23+

Bagaimana cara mengubah dari notasi sisipan ke notasi akhiran?

Ada beberapa cara untuk mengubahnya. Yang terkenal karena sederhana adalah algoritma shunting yard/depo gerbong karena bisa diilustrasikan dengan depo gerbong. Algoritma ini ditemukan oleh Edsger Wybe Dijkstra dalam artikelnya tahun 1961. Kita bahas lain kali, ya.

Potongan layar artikel yang menunjukkan diagram depo gerbong dengan masukan dari sisi kanan, keluaran di sisi kiri, dan depo gerbong di sisi bawah
Diagram depo gerbong

Eh, kalkulator di ponsel pintar bagaimana?

Oh, iya. Coba saja jalankan 2 + 3 × 7 = pada kalkulator di ponsel pintar kalian. Jawaban yang mana yang muncul?

Penutup

Itu yang bisa kutulis kali ini. Topik ini terpikirkan karena sempat ada masalah pada program pembuat soal di web TTL, khususnya pembuat soal operasi pecahan yang masih menggunakan cara kalkulator dagang dan belum menggunakan cara kalkulator ilmiah. Semoga bermanfaat!

Jumat, 21 Maret 2025

Mati Listrik saat Tarawih: Relevansi Islam Sepanjang Masa

Halo! Kali ini, aku mau cerita pengalamanku saat Tarawih pekan lalu.

Kamis pekan lalu malam (atau malam Jumat pekan lalu), aku ikut rangkaian salat Isya–Tarawih di masjid dekat rumah. Masjidnya cukup besar. Ukuran lantai bagian dalam sekitar 12 meter × 12 meter. Ada sembilan baris: 6 untuk putra dan 3 untuk putri. Ada lantai dua juga, tetapi hanya dipakai untuk acara-acara tertentu, misal salat Jumat dan TPQ.

Rangkaian salat Tarawih di masjid ini 11 rakaat: 8 rakaat Tarawih (dua rakaat salam) dan 3 rakaat Witir. Bakda Isya dan sebelum Tarawih, ada ceramah singkat. Biasanya, yang jadi imam Isya dan imam Tarawih orang yang sama.

Waktu itu, sekitar 20.02 WIB, kami sedang melaksanakan Tarawih rakaat ke-3 (salat ke-2). Suasana saat itu sedang hujan. Aku berada di barisan laki-laki yang paling belakang (baris ke-4) dan di bagian tengah/belakang imam. Saat imam sedang membaca surah Al-Fatihah, mendadak listrik masjid mati. Suara imam yang lirih (mungkin karena sudah terbiasa dengan pelantang/loudspeaker) ditambah dengan bunyi hujan menyebabkan bacaan imam sukar didengar.

Saat imam memberi aba-aba untuk rukuk, "Allāhu akbar!" terdengar suara dari salah satu jemaah yang mengulangi aba-aba imam, "Allāhu akbar!" dengan suara yang lebih lantang. Posisinya sebaris denganku di sisi kanan masjid. Untuk aba-aba imam selanjutnya, para jemaah ikut mengulangi aba-aba imam dengan suara cukup lantang (di-jahr-kan) sampai selesai salat.

Setelah selesai salat Tarawih ke-2, ada yang memeriksa listrik masjid dan menyalakan listrik kembali. Sepertinya ada korsleting pada jaringan listrik kipas karena kipasnya tidak menyala selama salat-salat berikutnya. Sekitar akhir Syakban seingatku, memang ada beberapa kipas baru yang dipasang. Bisa jadi ada kekeliruan dalam pemasangannya. Setidaknya, pemutus sirkuit (MCB) melakukan tugasnya dan mengisolasi yang terjadi korsleting sehingga jaringan listrik lain masih bisa menyala dan salat berjemaah kembali dilanjutkan seperti biasanya.

Selama salat Tarawih ke-2 itu, aku terenyuh dan bangga karena ajaran Islam memang berlaku untuk semua kalangan dan semua masa. Untuk ceritaku ini, misalnya, ajaran Islam tentang mengulang aba-aba imam masih relevan walau sudah ada teknologi mikrofon dan pelantang sehingga salat berjemaah tetap bisa dilaksanakan walau sedang mati listrik dan hujan.

Aku jadi teringat masjid-masjid yang masih melakukan cara ini walau sudah menggunakan pelantang, yaitu Masjidilharam, Masjid Nabawi, dan (di Indonesia) Masjid Istiqlal. Aku merasa sedang berada di masjid-masjid tersebut karena cara yang sama juga diterapkan walau hanya dua rakaat.

Sampai di sini dahulu, ya, ceritaku. Selamat melanjutkan, bahkan meningkatkan, ibadah-ibadah selama bulan Ramadan selagi masih ada waktu. Sampai jumpa!